Salah satu ketrampilan berbahasa, berbicara, yaitu aktivitas mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (P. Dori WHSVD: 1991). Dalam berbicara ada suatu seni retorika, mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, tekhnik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, kompetensi tentang ini sudah diteorikan. Ada banyak definisi, tata cara, kiat, anjuran, dan larangan secara tertulis untuk menjadi seorang pembicara yang baik. Sangat lengkap, menyeluruh, mendetail dan mudah didapat.
Perlu dicermati, bahwa berbicara adalah salah satu ketrampilan berbahasa. Padahal, yang namanya terampil itu mencakup kecakapan dalam melaksanakan kemudian menyelesaikan tugas dengan baik. Jadi, ketrampilan harus diawali dengan pemahaman kemudian mampu melaksanakan. Bukan hanya hafal teori tentang pengertian dan mahir menyebutkan kiat-kiat supaya terampil untuk melaksanakan. Lalu paham sampai di luar kepala tentang sejarah para pembicara yang hebat, retor yang menyejarah, manfaat berretorika, kesuksesan atau keberhasilan retorika, dan lain-lain.
Namun, itu semua tidaklah cukup. Pemahaman konseptual barulah dasar untuk melaksanakan. Adapun skor penilaian, seberapa pahamkah konseptual itu adalah subjektifitas yang belum pasti benar. Untuk mengetahui kemampuan retorika seseorang harus diuji dalam posisi berretorika yang sebenarnya. Ada pesan yang akan disampaikan, ada pendengar yang siap menyimak, kemudian ada timbal balik yang timbul setelah retorika selesai, yang kesemuanya nyata sehingga bukan sekedar simulasi. Hal ini berarti orang-orang yang belajar retorika untuk terus mencari peluang agar bisa mempraktekkan ilmu yang sudah di dapatnya. Sesering mungkin dan semakin menantang berarti semakin baik bagi peningkatan kemampuan retorika. Setiap kesempatan yang menghampiri hendaknya diterima bukan malah ditolak dengan berbagai alasan. Ada pepatah baru, ”Berani itu benar”, jadi yang penting diterima dulu baru kemudian dipikirkan bagaimana nanti sebaiknya.
Peluang untuk berlatih sebenarnya bukanlah di dalam kelas atau perkuliahan. Namun di organisasi, entah itu dalam kampus atau masyarakat dimana terjadi interaksi antar sesama anggota dalam aktivitas-aktivitas yang dilangsungkannya. Diakui bahwa organisasi merupakan konsep terstruktur dalam bersosialisasi anggota-anggotanya yang pasti kesempatan untuk berretorika. Dalam setiap rapat, entah itu mingguan, bulanan, atau muktamar atau kongres yang besar, kesemuanya membutuhkan retorika. Maka, orang-orang yang aktif di dalamnya itulah yang akan memenuhi peluang mencoba untuk berlatih menuju seorang yang retor. Bahkan, semakin penting posisi yang diduduki, semakin besar dan menantang pula kesempatan yang didapat, misalnya menjadi pembicara dalam seminar, talk show, atau diskusi. Jadi, aktivis organisasi itulah yang akan menjadi retor handal dan tentunya bukan seorang pembelajar yang hanya memahami teori tanpa mau mengaktualisasikannya.
Selain itu, seorang yang ingin mampu berretorika, harus banyak memiliki pengetahuan yang bisa untuk disampaikan. Karena, inilah sebenarnya yang penting, yaitu adanya timbal balik dari penyimak setelah memahami pesan-pesan yang disampaikan oleh retor. Semakin banyak dan mumpuni pengetahuan yang dikuasai, semakin banyak pula bahan yang bisa kita sampaikan, karena yang harus dipelajari bukan hanya bagaimana berretorika tetapi juga materi yang diusung. Walau begitu, sedikitnya yang dikuasai bukanlah halangan untuk kemudian menjadi alasan tidak mencoba, karena yang benar adalah, sampaikanlah yang kamu pahami walau sedikit mungkin. Sehingga, kebiasaan yang diawali dari yang sedikit dan kecil-kecil itulah yang akan menjadi dasar suatu capaian yang besar.
Kemudian, harus dicamkan bahwa berbicara retorik itu dapat dipelajari. Setiap manusia memiliki potensi untuk melakukan aktivitas ini, namun yang membedakannya adalah seberapa besar kemauannya untuk berlatih, terus mencoba, dan tidak mudah putus asa karena kadang ada kesalahan dan hambatan yang muncul. Jadi, dalam berbicara yang dibutuhkan adalah kemauan yang besar untuk mencapai kemampuan yang menakjubkan. Kemampuan ini menjadi mustahil ketika tidak ada niatan yang besar untuk mencapainya. Kemudian tanpa lelah terus berlatih dengan mendengar, mengamati, menganalisis, kemudian meniru tapi dengan karakteristik gaya kita sendiri.
Retorika itu seperti orang berenang. Walau seorang pembelajar itu tahu teori berenang gaya bebas, dada, kupu-kupu, dan sebagainya, dan sampai hafal di luar kepala, namun tidak mau menceburkan dirinya ke dalam air, mencoba merasakan sesungguhnya perhelatan yang nyata, maka mustahil bagi dia bisa berenang. Baru setelah mau mencoba itulah tahu bagaimana mengaplikasikan teori berenang yang sudah di dapat, tahu benar kesalahan-kesalahan yang mungkin didapat ketika berenang, pernah merasakan kepayahan akibat berenang, dan menyadari bahwa berenang itu adalah ketrampilan bukan teori. Hal tersebut berlaku juga untuk retorika. Selama para pembelajar tidak mencoba, selama itulah dia hanya hafal teori yang mendapat nilai bagus ketika tes tertulis. Dengan mau mencoba dan rajin berlatih, akan muncul seorang retor yang berbahagia ketika menyampaikan pesannya yang mengawali pembicaraan dengan menarik dan mengakhirinya dengan mengesankan.
from : http://hamsmars.blogspot.com/2008/08/retorik-terampil-bukan-hanya-paham.html
Retorika: Terampil Bukan Hanya Paham
Label:
LEADERSHIP
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar