Tanah adalah suatu harta yang ada di muka bumi ini yang dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problema-problema rumit. Hal ini adalah logis, mengingat bahwa faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban adalah tanah.
Di Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA
Suatu terobosan yang sangat revolusioner diakukan oleh UUPA yaitu dihapusnya sistem “Domain Verklaring”. Domain Verlklaring adalah sistem yang menentukan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan secara autentik maka dengan sendirinya menjadi milik negara. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat indonesia yang berbasis adat, dimana bukti autentik tidak dikenal sebelumnya dan hanya mengandalkan asas saling kepercayaan.
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Olehnya itu memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk memelihara dan mengatur peruntukannya secara adil dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup umat manusia di masa mendatang.
Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa :
“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menegaskan, kewenangan negara adalah :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan atau
pemeliharaannya ;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan
ruang angkasa itu ;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.
Suatu masalah yang kemudian muncul sehubungan kewenangan negara di atas adalah masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum
PEMBAHASAN
Proses hukum dalam pelaksanaan pembebasan lahan untuk jalan (kepentingan umum) lazimnya didahului dengan sosialisasi oleh Pemerintah Kota bersama dengan Dinas PU setempat kepada masyarakat yang terkena pembebasan tanah untuk proyek tersebut. Nilai ganti rugi meliputi tanah dan bangunan (termasuk pagar) harus dimusyawarahkan dengan pihak yang terkena pembebasan. Yang jelas, ganti rugi itu tidak boleh di bawah nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Nilai ganti rugi tergantung status tanah lazimnya untuk status tanah bersertifikat hak milik (HM) diberi ganti rugi 100% dari NJOP HGB 80%, hak pakai 60% sedangkan hak garap (tanpa sertifikat) diberi 40% dari NJOP. Selain tanah tanaman atau bangunan (benda) diatasnya juga dipertimbangkan ganti ruginya.
Jika tidak terdapat kata sepakat tentang nilai itu, tapi nilai yang ditawarkan tidak di bawah NJOP, Anda tidak dapat menolaknya. Pemerintah pun akan tetap membebaskannya dengan menitipkan uang ganti rugi di Pengadilan Negeri setempat. Hal ini sesuai dengan filosofi dan politik hukum pertanahan kita. Hak atas tanah milik perorangan dapat dicabut demi kepentingan umum, sebagaimana tersirat dalam pasal 33 UUD 1945, tersurat dalam UUPA Nomor 5/1960 dan PerPres Nomor 36/2005. Dengan kata lain, kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dengan penghormatan atas hak pribadi tersebut, yaitu pemberian ganti rugi.
Salah satu kasus yang sering terjadi pada setiap pembebasan tanah pada umumnya berupa besarnya penetapan ganti kerugian. Dalam penetapan besarnya ganti kerugian Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, di kemukakan bahwa besarnya ganti kerugian ditetapkan :
1. Dengan berpedoman pada hrga umum setempat.
2. Secara musyawarah
Harga umum setempat di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1975, dikemukakan disitu bahwa Harga Umum setempat adalah harga dasar yang di tetapkan secara berkala oleh panitia yang terdiri dari :
1. Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II
2. Kepala Kantor Agraria
3. IPEDA ( Iuran Pembangunan Daerah )
4. Dinas Pekerjaan Umum
5. Dinas Pertanian
Harga dasar sedikitnya di tetapkan satu kali setahun yang disesuaikan dengan perkembangan harga tanah di wilayah Kabupaten / Kotamadya setempat.
Selain berpedoman pada harga umum setempat. taksiran harga juga di tetapkan secara musyawarah. Pasal 6-nya menyebutkan bahwa Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besarnya ganti kerugian terdapat "kata sepakat" di antara Anggota Panitia dengan memperhatikan kehendak para Pemegang Hak Atas Tanah. Apabila taksiran Panitia Pembebasan Tanah Mengenai ganti kerugian di tolak pemilik tanah, berdasarkan peraturan itu penolakan di laporkan kepada Gubernur Kepala Daerah lalu Gubernur di beri alternatif apakah akan mengukuhkan keputusan Panitia atau menentukan lain untuk mengambil jalan tengah.
Dalam perjalanannya , dasar hukum pembebasan tanah dengan menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dianggap " kontroversial" lalu di ganti dengan keputusan Presiden no. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum, yang di tindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahung 1994 sebagai Peraturan Pelaksanaanya.
Dengan adanya Keputusan Presiden No.55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan bagi kepentingan umum, akibantnya tiga peraturan Menteri Dalam Negeri,yaitu :
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976, dan
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1985, dicabut dan dinyatakan " tidak berlaku lagi".
Pasal 15 Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang ePengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum mengatur tatacara perhitungan ganti kerugian yang di tetapkan oleh Panitiaan Pengadaan yang anggotanya terdiri dari :
1. Bupati/ Walikotamadya Daerah tingkat II, sebagai Ketua.
2. Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua.
3. Kepala kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
4. Kepala instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan .
5. Kepala instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
6. Camat yang wilayahnya meliputi tanah yang rencananya akan di bangun.
7. Lurah / Kepala Desa wilayah rencana pelaksanaannya.
8. Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintah atau Kepala Bagian Pemerintahan Kantor Bupati / Walikotamadya ( buakn anggota)
9. Kepala Seksi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, sebagai sekretaris II ( bukan anggota)
Terdiri di atas nomer 1-7 merangkap Anggota . PAnitia tersebut biasa di sebut "panitia sembilan". Dalam pelaksanannya oleh Gubernurdi upayakan penyeleseiannya dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan semua pihak dan akhirnya Gubernur dapat Mengubah atau mengukuhkan Keputusan Panitia Pengadaan Tanah
Dalam acara pembebasan tanah, satu permasalahannya yang biasa mucul adalah sering tidak sepakatnya mengenai besarnya ganti kerugian antar pemilk tanah dengan yang membutuhkan; pemilik tanah merasa di rugikan dan merasa tidak layak atas besarnya ganti kerugian sehingga muncul tuntutan ganti kerugian dan unjuk rasa.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah :
Pemerintah segara menyusun peraturan yang jelas & tegas dalam proses hganti rugi pembebasan tanah, sehingga tidak ada yang di rugikan
Ganti rugi pembebasn tanah
Label:
tugas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar